BSE Bahasa Indonesia SMA halaman 122
BSE BAHASA INDONESIA
HALAMAN 122
UJI
MATERI
1.
Topik apa yang dibahas dalam esai
tersebut ?
2.
Daftarlah gagasan utama setiap paragraf
tersebut.
3.
Buatlah kerangka esai di atas
berdasarkan pola pembuka, isi, dan penutup.
JAWABAN
:
1.
Kajian bahasa indonesia dalam siaran
televisi nasional.
2. Paragraf
1 : Pengkajian
bahasa . Bahasa dalam siaran televisi ini menarik untuk dikaji karena menjadi
bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia. ( baris ke-13 ).
Paragraf
2 : Pengenalan
televisi. Teknologi canggih pertama bernama televisi yang berbasis pada media
satelit Palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. ( baris
pertama ).
Paragraf
3 : Perkembangan dunia
pertelevisian. TVRI selama puluhan tahun.....seperti halnya TVRI. ( baris
pertama ).
Paragraf
4 : Kelebihan siaran TV. Ada kelebihan siaran televisi
dibandingkan siaran radio. ( baris pertama ).
Paragraf
5 : Pemaknaan simbol. Akan tetapi, dapat saja objek yang sama
itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki makna apa-apa atau hampa
makna. ( baris ke-11 ).
Paragraf
6 : TVRI menjadi simbol jembatan bagi masyarakat Indonesia yang
secara geografis maupun kultural adalah masyarakat majemuk. ( baris ke-12 ).
Paragraf
7 : Varian bahasa. Media televisi....menggunakan bahasa baku (
baris pertama ).
Paragraf
8 : Fenomena pengkajian bahasa dalam berita. Fenomena bahasa di
media televisi ini menarik untuk dikaji.......memperbincangkan ) ( baris
pertama ).
Paragraf
9 : Perbedaan hegemoni dan dominasi. Dalam hal ini, orang
sanggup bersikap.....pemegang dominasi ( baris ke-10 ).
Paragraf
10 : Wilayah
bahasa pada berita. Bahasa siaran berita televisi......wilayah dominasi. (
baris pertama ).
Paragraf
11 : Seni
di media. Sesuai penjelasan tersebut, seni dimanfaatkan......khalayak pemirsa
televisi ( baris pertama ).
3. PEMBUKA : Paragraf 1 : Topik yang akan
didiskusikan dalam esai.
Paragraf 2 : Pengenalan
teknologi tentang televisi.
Paragraf 3 : Pengenalan
stasiun TV dan perkembangannya.
ISI : Paragraf 4 : Kelebihan siaran TV.
Paragraf 5:
Simbol dalam masyarakat.
Paragraf 6 : TVRI dianggap simbol pemersatu bangsa.
Paragraf 7 : Variasi barbahasa di media televisi.
Paragraf 8 : Fenomena dalam berita.
Paragraf 9 : Perbedaan hegemoni dan dominasi.
Paragraf 10: Wilayah penyiaran berita.
PENUTUP : Paragraf
11 : Seni dalam media.
BSE BAHASA INDONESIA HALAMAN 123
Kegiatan Lanjutan
1. Buatlah
sebuah esai dengan tema bahasa dan sastra. Kemudian tentukan topiknya.
2. Susunlah
esai tersebut dengan pola pembukaan, isi, dan penutup dengan memperhatikan
diksi, kalimat, ejaan, dan tanda baca.
JAWABAN :
1.
BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI
Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia.
Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).
Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh karena rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan.
Bagaimana dengan bahasa dan sastra ? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi ? Bagaimana nasib sastra ? Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?
Mitos - Mitos Tentang Globalisasi pada bahasa dan sastra Indonesia
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan
atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi
komunikasi memang telah membuat
batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan
kekuasaan negara. Dan kemajuan teknologi mempengaruhi cara pikir bangsa
Indonesia. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox
memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di
dalam bidang ekonomi, misalnya,
Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia,
semakin perusahaan-perusahaan kecil dan
sedang akan mendominasi". Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan
pokok-pokok pikiran lain yang paradoks
sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal, tindakan
kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir
lokal, bersifat global." Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi
semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu
mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat.
Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat.
"Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa
Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra,
yakni karya sastra Indonesia.
Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat.
"Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa
Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra,
yakni karya sastra Indonesia.
Perkembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan
bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.
Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasaIndonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan
masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.
Politik Bahasan dan Politik Sastra
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaandan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan
bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.
Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasaIndonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan
masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.
Politik Bahasan dan Politik Sastra
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaandan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di dalam
kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus
lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk
bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan
karya-karya sastra harus dilakukan dalam
jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi
tempat untuk membaca karya-karya sastra.
Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber
pengajaran.
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu.
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu.
Bahasa
Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian.
Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia
yang global. Bahasa dan sastra
Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.
Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.
TOPIK
: Keberadaan Bahasa dan Sastra Indonesia di Era Globalisasi.
2. Pembukaan : Paragraf 1 :
Pendahuluan.
Paragraf 2 :
Fenomena perkembangan zaman.
Paragraf 3 :
Proses globalisasi.
Paragraf 4 :
Pokok masalah perkembangan sastra.
Isi
: Paragraf
5 : Mitos tentang
globalisasi.
Paragraf 6-8 : Pemikiran tentang globalisasi.
Paragraf 9-13 : Perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Paragraf 14 :
Politik bahasa dan politik sastra Indonesia.
Penutup
: Paragraf 15-17 : Posisi
bahasa dan sastra Indonesia.
BSE BAHASA INDONESIA HALAMAN 125
SOAL
PEMAHAMAN PELAJARAN 7
JADI
Tidak setiap berita tidak
setiap seru
Jadi luka jadi
mau
Tidak setiap sepi tidak
setiap tangan
Jadi duri jadi
pegang
Tidak setiap tanda tidak
setiap kabar
Jadi makna jadi
tahu
Tidak setiap tanya tidak
setiap luka
Jadi ragu jadi
kaca
Tidak setiap jawab memandang
kau
Jadi sebab pada
wajahku !
1. Apa
makna puisi tersebut ?
JAWAB : pandangan
optimis dari penulis. Dalam puisi tersebut menyatakan pandangan penulis
terhadap sesuatu yang tidak terikat oleh aturan-aturan.